Sunday 15 December 2013


Sekumpulan perempuan yang bernyanyi sambil menari di atas panggung identik dengan istilah girl band. Namun, tak semua kelompok menyanyi dan menari seperti ini disebut girl band, ada pula yang lebih senang disebut sebagai idol group (kelompok idola). Idol group belakangan menjadi fenomena di Indonesia, utamanya di kalangan remaja. Lantas, sejauh mana pengidolan masih dalam batas wajar atau mulai berlebihan?

Idol group sejatinya adalah istilah yang berasal dari budaya Jepang yang berarti sebuah media bagi remaja perempuan berpenampilan menarik dengan rentang usia tertentu. Saat berada dalam idol group, remaja kerap dan rutin diliput di media massa, baik sebagai penyanyi, aktris, pembawa acara, dan model di majalah atau iklan.

Yang unik, jika sudah melewati usia tertentu yang ditetapkan sebagai batas dalam suatu idol group, maka anggota wajib untuk meninggalkannya. Artinya masanya sebagai anggota idol group tersebut harus berakhir dan bisa memilih untuk tetap berada di dunia hiburan secara mandiri atau bahkan berhenti menjadi idola.

Fenomena idol di Negeri Sakura sudah dimulai sejak awal 1970-an dari seorang penyanyi Perancis Sylvie Vartan dalam filmnya yang berjudul Cherchez I'idole di tahun 1963 yang dalam bahasa Jepang berjudul Aidoru wo sagase di November 1964. Istilah itu kemudian diterapkan pada aktris atau penyanyi perempuan maupun laki-laki yang dianggap menarik.

Remaja perempuan berusia 14-16 tahun, atau laki-laki berusia 15-18 tahun pun mulai bersinar sebagai idola. Sejak saat itu, mulai banyak idola bermunculan, idola-idola yang dibentuk menjadi sebuah kelompok dinamakan idol group. Idol group tidak hanya terdiri dari perempuan, tetapi juga laki-laki, idol group Arashi misalnya. Di Jepang pun, jumlah idol group sangat banyak, yang cukup mencuri perhatian dunia antara lain Morning Musume dan AKB48.

Khusus AKB48, kelompok ini menularkan budaya idol group Jepang dengan menciptakan banyak sister-group di beberapa negara, termasuk Indonesia. Tepatnya pada tahun 2011, tebentuklah JKT48 yang merupakan sister-group pertama AKB48.

Di awal kemunculannya, JKT48 sudah mampu menyerap banyak penggemar karena pada dasarnya musik pop Jepang (J-pop) di Indonesia memang sudah banyak disukai sejak lama.

"Dari dulu saya sudah suka sama AKB48. Jadi begitu ada JKT48 yang konsepnya sama tapi lebih dekat karena posisinya di Indonesia, saya langsung suka," ujar pemuda yang enggan disebutkan namanya kepada Kompas Health di Jakarta.

Menurut pengakuannya, dia sudah jatuh cinta pada musik Jepang sejak delapan tahun yang lalu. Konsep idol group di Indonesia memang terbilang masih baru. Karena itu, banyak yang "salah" mengartikannya sebagai girl band. Kendati demikian, tujuan keduanya sama, yaitu untuk menghibur penonton dan akhirnya menciptakan penggemar.

Wajar atau berlebihan?
Menggemari idol group bukan merupakan hal yang negatif selama bisa bermanfaat bagi pengembangan diri terutama pada remaja. Beberapa psikolog menyampaikan pandangannya kepada Kompas Health mengenai kegiatan menggemari idola ini.

Menurut psikolog keluarga, Roslina Verauli, kegiatan menggemari bisa dikatakan upaya untuk mencari jati diri. Kegiatan ini kalau bisa memberikan dampak positif pada pengembangan diri artinya bersifat konstruktif.

Sementara psikolog dari LPT-UI, Indri Savitri, mengatakan, idola berfungsi berbeda pada remaja dan dewasa. Bagi remaja, idola bisa menjadi panutan atau contoh, sedangkan bagi dewasa idola merupakan penyalur hiburan atau rekreasi.

Vera melanjutkan, kendati suatu hal yang normal, pengidolaan sebetulnya tidak mengindikasikan kematangan emosi. Tokoh yang diidolakan sebetulnya merupakan ekspresi keinginan, salah satunya keinginan dari sisi fisik misalnya cantik, ganteng, atau keren.

Pengidolaan perlu diwaspadai jika mulai muncul perilaku berlebihan pada remaja. Misalnya menghabiskan waktu terlalu lama untuk menonton tokoh idola, hingga mengganggu kesehariannya. Tanda lainnya, jika remaja mulai bertransformasi dan mengadaptasi seluruh karakter dan sifat idola, tanpa berfikir kerugian bagi dirinya.

source: kompas


Kisah Pemuda dan "Dunia Delusi" JKT48



Kegiatan menggemari artis idola semestinya menjadi salah satu bentuk media sosialisasi, selain sarana untuk mengembangkan diri, juga berdampak positif bahkan bisa menjadi salah satu peluang menghasilkan uang. Inilah segelintir kisah dari fans grup idola yang belakangan menjadi fenomena di kalangan pemuda.

Dentuman suara musik yang terdengar sayup-sayup dari panggung di lantai tujuh gedung itu menjadi backsound perbincangan dengan tiga orang pemuda malam itu. Sorot lampu yang sedikit redup mewarnai meja tempat kami duduk. Suasana di lantai tempat kami berada saat itu memang tidak terlalu ramai, tetapi di lantai lainnya, khususnya lantai empat, puluhan hingga ratusan orang terlihat memenuhi sebuah pojok yang bertuliskan "Jakarta JKT 48 Theater".

Ketiga pemuda itu menyebut dirinya sebagai Genderuwota dan anak magangnya. Mereka lebih dikenal di jejaring media sosial Twitter dengan akun @Genderuwota dan blog Genderuwota48 yang aktif membagikan informasi dan pengalaman khususnya yang berhubungan dengan kelompok idola (Idol Group) JKT48, dan hal umum lainnya.

Akun tersebut cukup "terdengar" di antara penggemar kelompok itu. Terbukti dari jumlah pengikutnya yang mencapai sekitar 27.000, dan setiap hari puluhan kicauan dihasilkan sebagai interaksi dengan pengikut yang tidak sedikit.

Nama Genderuwota awalnya tercipta tidak disengaja, yaitu berasal dari kata genderuwo, sejenis jin atau makhluk halus manusia mirip kera dan "wota" yang berarti penggemar setia dalam bahasa Jepang. Dinamakan demikian karena sosok Genderuwota bagaikan makhluk halus yang tidak ingin diketahui identitas dan keberadaannya kecuali lewat akun Twitter-nya.

Uwo, begitu Genderuwota biasa disapa, pun mulai menerangkan bagaimana awalnya menggemari JKT48. Pada awal tahun 2012, Uwo termasuk dalam segelintir orang yang menyaksikan penampilan perdana JKT48 di teater sementara yang saat itu digelar di Gedung Nyi Ageng Serang, Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. Dikatakan segelintir karena saat itu jumlah penonton yang datang sangat sedikit dibandingkan dengan saat ini.

"Bahkan dulu tiket teater dikasih-kasih gratis, sekarang berebut dapetin tiket," ujar pemuda berusia 25 tahun ini.

Teater merupakan pertunjukan musik yang dilakukan JKT48, dari mulai bernyanyi sambil menari, serta beramah-tamah dengan penggemar. Menurut keterangan Uwo, di masa awal JKT48 tampil di teater, seusai pertunjukan, para personelnya (member) masih menyempatkan diri melakukan jabat tangan dengan penggemar. Hanya, karena penggemar bertambah banyak, pihak manajemen tidak melanjutkan aksi yang punya istilah "fans service" itu.

Cinta pada pandangan pertama. Itulah istilahnya saat Uwo pertama melihat penampilan JKT48 di teater malam itu. Sejak itu, dia mencari tahu banyak tentang JKT48 lewat internet.

Tak heran, saat itu Uwo pun jadi tahu adanya AKB48, "kakak" JKT48 yang berasal dari Negeri Sakura. Lagu-lagu JKT48 sendiri pun juga sebenarnya merupakan milik AKB48 yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Selayaknya orang yang sedang jatuh cinta, Uwo pun mengusahakan untuk kembali bertemu dengan orang yang dicintainya, dengan cara menonton penampilan teater JKT48 selanjutnya. Pertunjukan teater kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya pun disambangi olehnya.

Dari sana, Uwo pun bertemu dengan kawan-kawan yang bernasib sama dengannya, jatuh cinta pada gadis-gadis personel JKT48. Personel yang paling disukai mereka sebut dengan "oshi". Lantaran frekuensi bertemu yang cukup sering dan kesukaan yang sama, mereka pun cocok satu sama lain.

Uwo akhirnya membuat sebuah komunitas yang bersumbu dari kecintaannya kepada JKT48. Itulah kenapa ada istilah "anak magang", karena anggota komunitas itu disebut demikian. Meski ada pula yang menyebut diri mereka sebagai anak freelance dan sebagainya. "Panggilan sih suka-suka saja, yang penting maksudnya sama," timpal salah satu anak magang.

Jenuh
Berulang kali nonton teater, Uwo bukannya tidak mengalami kejenuhan. Kesibukannya sebagai pekerja pun tidak dapat dihindari sehingga tidak mungkin di setiap pertunjukan teater dia selalu datang. Terlebih, semakin JKT48 dikenal, semakin intens pertunjukan teater digelar, bahkan bisa setiap hari.

Selain itu, tiket masuk teater juga tidak murah. Penonton perlu merogoh kocek hingga ratusan ribu rupiah. Belum lagi, pernak-pernik JKT48 yang dijual di depan area teater tentu "menggoda" untuk dibeli.

"Kalau sudah jenuh, ya sudah off (datang ke) teater sementara waktu. Tapi jangan kira, off juga untuk mengikuti perkembangan mereka. Anak magang baru biasanya cerita detail teater saat berlangsungnya pertunjukan. Kalau ada yang unik-unik, seperti member jatuh saat bernyanyi, atau member ngomong itu bikin semangat dan menumbuhkan cinta sama member lagi," tutur Uwo.

Uwo pun menilai, kecintaan dia dan pengemar lainnya kepada JKT48 sudah sampai tahap menganggap member sebagai adik, kakak, bahkan pacar sendiri. Itulah yang membuat mereka merasa bersalah atau tidak nyaman saat tidak dapat menghadiri teater. "Terutama bagi yang awal-awal datang ke teater seperti kami, kedekatan dengan member lebih terasa karena fans service-nya lebih banyak, seperti boleh handshake dan foto bersama," ujarnya.

Ya, "idola yang dapat Anda jumpai setiap hari" memang merupakan konsep yang diusung oleh AKB48 dan semua "sister group"-nya (termasuk JKT48). Itulah yang membuat mereka selalu membuat pertunjukan teater hampir setiap hari, tujuannya agar penggemar dengan mudah dapat menemukan idolanya.

Lebih produktif
Uwo menyadari, kegiatan menggemari membutuhkan uang. Namun, di saat kebanyakan penggemar hanya menghabiskan uang dengan menonton teater dan membeli pernak-pernik, sebaliknya Uwo ingin bisa menghasilkan.

Awalnya Uwo menggelar acara buka bersama dengan kaum duafa. Biaya yang tadinya direncanakan berasal dari kocek masing-masing justru akhirnya berhasil diubah dengan cara lelang koleksi. Acara perdana itu pun menuai sukses karena hasil lelang ternyata jauh lebih banyak dari yang diduga sebelumnya.

Semenjak sukses mengadakan acara itu, komunitas itu pun kerap dan rutin menggelar acara yang serupa. Misalnya saat Idul Adha lalu, Uwo mengajak anggota serta pengikut Twitter-nya untuk berpartisipasi sehingga mereka pun berhasil berkurban ternak.

Belakangan, Uwo juga memproduksi sebuah buku berjudul Dunia Delusi. Buku tersebut berisi kisah-kisah penggemar inspiratif dan unik dari anggota komunitas. Dengan royalti yang didapat dari buku itu, Uwo bercita-cita dapat membangun rumah singgah di Jakarta untuk penggemar-penggemar dari daerah yang perlu penginapan saat menonton teater JKT48.

Menurut psikolog anak dan keluarga, Roslina Verauli, kegiatan menggemari artis idola memang merupakan salah satu sarana membentuk media sosialisasi. Dengan kecintaan yang sama, sosialisasi akan berjalan lebih "nyambung".

Vera menilai, kegiatan menggemari, kalau bisa memberikan dampak positif pada pengembangan diri artinya bersifat konstruktif. Bukan hanya mendapatkan tokoh panutan dan teman, melainkan juga bisa mendatangkan uang.


source: kompas


Bedanya Idola untuk Remaja dan Dewasa


Idola tak hanya milik remaja, orang dewasa pun bisa punya idola dengan segala kriteria yang dimilikinya. “Tapi bentuk pengidolaan remaja dan dewasa berbeda, sesuai perkembangan karakter yang dimiliki keduanya,” kata psikolog dari LPT-UI, Indri Savitri, saat dihubungi Kompas Health.
 
Remaja, kata Indri, cenderung mengidolakan tokoh berdasarkan kelebihan fisiknya. Mereka tidak terlalu peduli pada konten yang dibawakan idola. Selama idola terlihat cantik, ganteng, atau keren, para remaja akan mengidolakannya. Karena itu, idola remaja bisa lebih dari satu.
 
Sesuai perkembangan psikologisnya, penampilan fisik sangat penting bagi remaja. Penampilan tersebut kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari meliputi cara berpakaian, model busana, hingga hal detail seperti aksesori atau model rambut. Tak menjadi soal bila aplikasi tersebut kurang cocok digunakan sehari-hari. Hal ini, kata Indri, sesuai sifat remaja yang belum bisa berpikir panjang.
 
Sedangkan untuk dewasa, penampilan fisik tak menjadi soal. “Dewasa lebih menyukai konten yang dibawakan idola. Kalau untuk penyanyi jelas meyukai isi dan cara menyanyikan, untuk atlet jelas menyukai teknik dan metodenya di lapangan. Penampilan fisik biasanya tidak menjadi pertimbangan,” kata Indri.
 
Fungsi idola juga berbeda bagi remaja dan dewasa. Bagi remaja, idola bisa menjadi panutan atau contoh, sedangkan bagi dewasa idola merupakan penyalur hiburan atau rekreasi. Dengan kelebihannya, idola menyediakan hiburan setelah melakukan kegiatan sehari-hari.

Batas wajar
Memiliki idola tentunya adalah sesuatu yang wajar karena pada dasarnya idola adalah perwujudan harapan bagi orang di sekitarnya. Kelebihan yang dimiliki idola merupakan keinginan atau impian bagi para fans yang kagum terhadap dirinya. Namun, kekaguman ini bisa berubah menjadi berlebihan, baik untuk remaja maupun dewasa.
 
“Hal ini ditandai keseharian yang mulai terganggu. Untuk remaja bahkan bisa menjadi copycat, yaitu berusaha menjadi idola hingga perlahan mematikan karakternya sendiri. Hal ini tentu berbahaya karena remaja akan kehilangan jati dirinya,” kata Indri.

Remaja yang tidak memiliki jati diri cenderung mudah dipengaruhi dari lingkungan sekitarnya. Sedangkan kekagumana berlebihan pada orang dewasa mungkin merupakan indikasi belum matangnya kepribadian yang dimiliki. Indri mengatakan, hal tersebut mungkin terkait dengan pengalaman atau harapan masa kecil yang belum terpenuhi.
 
Pada remaja, untuk mencegah pengidolaan berlebihan, orangtua harus ikut aktif mengetahui siapa idola tersebut. Selanjutnya orangtua bisa mengawal sejauh mana anaknya mengidolakan bintang tersebut.

“Kalau untuk dewasa mungkin lebih kepada diri sendiri karena bisa saja terkait masa lalunya. Namun, hal ini tentu tidak bisa berlaku sama,” kata Indri.
 
source: kompas

source: Fenomena Fans Idol Grup (kompas)

0 comments:

Post a Comment

I need your comment, to prove that this blog is useful. if you not mind please do so. i will be very happy. let's cheers our idol girls! :)

Please, put your name in the Open ID, so that I could greet you back. I do not appreciate Anonymous. :)

join our facebook and twitter too! ^_^